“Jangan,
lah. Kamu di rumah saja. Istri itu di rumah tugasnya :)”
“Itu,
tetangga kita, dia kerja!”
“Hehe
…, dia itu guru, sayaang. Dia dibutuhkan banyak orang. Yang
membutuhkan kamu tidak banyak. Hanya Abang dan anak kita. Di rumah
saja, ya.”
“Itu…,
tetangga kita yang satunya, yang sekarang sudah pindah ke kampung
sebelah, aku lihat dia kerja. Bukan guru. Tidak dibutuhkan banyak
orang.”
“Nanti,
tunggu Abang meninggal dunia.”
“Apa-apaan
sih?”
“Dia
itu janda, sayaaaang. Suaminya meninggal satu setengah bulan yang
lalu. Makanya dia kerja.”
“Tapi
kebutuhan kita makin banyak, Bang”
“Kan
Abang masih kerja, Abang masih sehat, aku masih kuat. Akan Abang
usahakan, InsyaAllah.”
“Iya,
aku tahu. Tapi penghasilan Abang untuk saat ini tidaklah cukup.”
“Bukannya
tidak cukup, tapi belum lebih. Mengapa Abang bilang begitu? Karena
Allah pasti mencukupi. Lagi pula, kalau kamu kerja siapa yang jaga
anak kita?”
“Kan
ada Ibu! Pasti beliau tidak akan keberatan. Malah dengan sangat
senang hati.”
“Istri
Abang yang Abang cintai, dari perut sampai lahir, sampai sebelum
Abang bisa mengerjakan pekerjaan Abang sendiri, segalanya
menggunakan tenaga Ibu. Abang belum ada pemberian yang sebanding
dengan itu semua. Sedikit pun belum terbalas jasanya. Dan Abang
yakin itu tak akan bisa. Setelah itu semua, apakah sekarang Abang
akan meminta Ibu untuk mengurus anak Abang juga?”
“Bukan
Ibumu, tapi Ibuku, Bang?”
“Apa
bedanya? Mereka berdua sama, Ibu kita. Mereka memang tidak akan
keberatan. Tapi kita, kita ini akan jadi anak yang tegaan.
Seolah-olah, kita ini tidak punya perasaan.”
“Jadi,
kita harus bagaimana?”
“Istriku,
takut tidak tercukupi akan rezeki adalah penghinaan kepada Allah.
Jangan khawatir! Mintalah pada-Nya. Atau begini saja, Abang ada ide!
Tapi Abang mau tanya dulu.”
“Apa,
Bang?”
“Apa
alasan paling mendasar, yang membuat kamu ingin bekerja?”
“Ya
untuk memperbaiki perekonomian kita, Bang. Aku ingin membantumu
dalam penghasilan. Untuk kita, keluarga kita.”
“Kalau
memang begitu, kita buka usaha kecil saja di rumah. Misal sarapan
pagi. Bubur ayam misalnya? Atau, bisnis online saja. Kamu yang
jalani. Bagaimana? anak terurus, rumah terurus, Abang terlayani,
uang masuk terus, InsyaAllah. Keren, kan?”
“Suamiku
sayang, aku tidak pandai berbisnis, tidak bisa jualan. Aku ini
karyawati. Bakatku di sana. Aku harus keluar kalau ingin menambah
penghasilan.”
“Tidak
harus keluar. Tenang, masih ada solusi!”
“Apa?”
“Bukankah
ada yang lima waktu? Bukankah ada Tahajud? Bukankah ada Dhuha?
Bukankah ada sedekah? Bukankah ada puasa? Bukankah ada amalan-amalan
lainnya? Allah itu Maha Kaya. Minta saja pada-Nya.”
“Iya,
Bang, aku tahu. Tapi itu semua harus ada ikhtiar nyata.”
“Kita
ini partner, sayang. Abanglah pelaksana ikhtiarnya. Tugas kamu cukup
itu. InsyaAllah jika menurut Allah baik, menurut-Nya kita pantas,
kehidupan kita pasti akan berubah.”
“Tapi,
Bang?!”
“Abang
tanya lagi…, kamu ingin kita hidup kaya, apa berkah?”
“Aku
ingin kita hidup kaya dan berkah.”
“Kalau
begitu lakukan amalan-amalan tadi. InsyaAllah kaya dan berkah.”
“Kalau
tidak kaya?”
“Kan
masih berkah? Dan…, tahu apa yang terjadi padamu jika tetap
istiqomah
dengan itu?”
“Apa,
Bang?
“Pilihlah
pintu surga yang mana saja yang kamu suka. Dan kamu, menjadi
sebenar-benarnya perhiasan dunia.”
***
Rasulullah
SAW bersabda, “Apabila seorang wanita (istri) itu telah melakukan
shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menjaga harga dirinya dan
mentaati perintah suaminya, maka ia diundang di akhirat supaya masuk
surga berdasarkan pintunya mana yang ia suka (sesuai pilihannya),”
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Thabrani).