Diberdayakan oleh Blogger.

Shopping Cart Details


Order Details Amount
GRAND TOTAL:

Please choose a checkout option.
No personal data required.

Send in Orders

It's Quick & Easy! Details here will not be published.

Please include messages to us here.

Checkout

Popular Posts

Bagaimanakah Hukum Isbal (Memanjangkan Sarung Atau Celana di bawah mata kaki)...???, Banyak yang mengatakan :”siapa yang Kain atau celananya di bawah mata kaki maka masuk neraka”. Benarkah pemahaman seperti ini…???. Berikut dalil bolehnya menurunkan kain di bawah mata kaki…!!!.

  







Melakukan Isbal bagi lelaki Muslim, yakni mengulurkan pakaian melebihi mata kaki hukumnya Mubah atau boleh artinya orang yang melakukanya tidak di siksa apalagi di masukan neraka karenanya, selama tidak disertai kesombongan tanpa membedakan apakah pakaian itu berupa gamis, sarung, celana, Jarit, Izar (seperti yang dipakai saat Ihram) dan sebagainya. Adapun jika Isbal itu disertai ‎sombong, maka hukumnya HARAM yang keharamannya berlaku bukan hanya pada Isbal pakaian tetapi pada semua penggunaan asesoris tubuh yang memicu kesombongan  termasuk celana yana cengkerang ( di atas mata kaki )
Sebelum kita melanjutkan pembahasan ini kita simak dulu penjelasan dalam Shohih Ibnu hiban
صحيح ابن حبان (2/ 282) قال أبو حاتم الأمر بترك استحقار المعروف أمر قصد به الإرشاد والزجر عن إسبال الإزار زجر حتم لعلة معلومة وهي الخيلاء فمتى عدمت الخيلاء لم يكن بإسبال الإزار بأس

Abu Hatim berkata, “Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal yang ma’ruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik. Dan larangan untuk tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab yang telah diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika kesombongan itu tidak ada, maka tidaklah mengapa Isbal sarung (memanjangkan kain di bawah mata kaki).” (Shahih Ibnu Hibban).
Selanjutnya meri kita simak penjelasan isbal adalah mubah atau boleh jika tidak sombong
Argumentasi  yang menunjukkan bahwa Isbal (memanjangkan kain di bawah mata kaki) jika tidak disertai kesombongan hukumnya MUBAH (boleh) adalah hal-hal berikut;

Pertama; Nash-Nash yang melarang Isbal disertai keterangan  yang menjadi penyebab dilarangnya Isbal yaitu kesombongan. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menyeret  kain sarungnya karena sombong.” (H.R.Bukhari)
dalam riwayat lain lafadznya berbunyi;
) عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي سَالِمٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Az Zuhriy ,telah mengabarkan kepadaku Salim bahwa Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma bercerita bahwa Nabi Shallallu ‘alaihi wa salam besabda: “Ada seorang laki-laki yang ketika dia menyeret  pakaiannya karena kesombongan, ia dibenamkan ke dasar bumi, dan orang itu terus meronta-ronta hingga hari qiyamat”.(  HR. Al-Bukhari (5789) dan Muslim (2088). Hadits memiliki penguat dari hadits Ibnu ‘Umar a.
dalam riwayat Ahmad lafadznya berbunyi;
مسند أحمد (31/ 202) عَنْ هُبَيْبِ بْنِ مُغْفِلٍ الْغِفَارِيِّ أَنَّهُ رَأَى مُحَمَّدًا الْقُرَشِيَّ قَامَ يَجُرُّ إِزَارَهُ فَنَظَرَ إِلَيْهِ هُبَيْبٌ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَطِئَهُ خُيَلَاءَ وَطِئَهُ فِي النَّارِ
Dari Hubaib bin Mughfil salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, dia melihat seorang laki-laki yang menyeret  kainnya sampai kebelakangnya dan menginjaknya. Dia berkata; Maha Suci Allah, Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menginjak kainnya karena sombong, dia akan menginjaknya di Neraka”. (H.R.Ahmad)‎
Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal karena ada sebabnya yaitu kebiasaan sebagian  orang yang  mengulurkan dan menyeret pakaiannya karena angkuh nan sombong. Mafhumnya (makna implisitnya), jika Isbal tersebut dilakukan tidak karena sombong berarti tidak terkena celaan dan tidak termasuk ke dalam ancaman. Dengan kata lain Lafadz بَطَرًا (keangkuhan) dan خُيَلَاءَ  (kesombongan) dalam riwayat-riwayat di atas menjadi Qoid (pengikat) dari syariat larangan Isbal. Selama Qoid tersebut ada, maka hukum berlaku, dan jika Qoid tersebut tidak ada, maka hukum larangan ‎Isbal tidak bisa diterapkan.
Lafadz بَطَرًا dan خُيَلَاءَ  sama dengan lafadz خَطَأً  dalam firman Allah berikut ini ;
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ } [النساء: 92]‎
Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (An-Nisa; 92)
Artinya, pada kasus pembunuhan,  hukum kewajiban membebaskan budak mukmin dan membayar diyat  hanya berlaku jika pembunuhan tersebut terealisasi sifat  خَطَأً  (yakni dilakukan secara tidak sengaja). Jika pembunuhan tersebut disengaja, maka hukuman membebaskan budak dan membayar diyat tidak dapat diterapkan. Dalam masalah Isbal juga demikian. Jika terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal berlaku, namun jika tidak terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal tidak dapat diterapkan.
Contoh lain adalah lafadz ظُلْمًا  dalam ayat berikut;
{إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا} [النساء: 10]
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka). (An-Nisa; 10)
Maknanya, orang yang terancam memakan api di Neraka dalam perut-perut mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak yatim secara ظُلْمًا  (zalim). Mafhumnya, jika harta anak yatim itu dimakan dengan cara yang tidak zalim, misalnya karena pemberian sukarela dari anak yatim tersebut, maka orang tersebut tidak terkena ancaman. Hal yang sama berlaku pada Isbal. Jika Isbalnya dilakukan dengan cara sombong, maka pelakunya terkena ancaman, namun jika dilakukan bukan karena sombong misalnya yang Isbal para petani yang pergi ke sawah, maka orang tersebut tidak terkena ancaman.
Demikianlah. Ringkasnya; Nash-Nash yang menunjukkan larangan Isbal adalah Nash-Nash yang disertai Qoid (pengikat) hukum. Dengan kata lain , Nash-Nashnya termasuk Nash Muqoyyad (Nash terikat). Semua Nash Muqoyyad diterapkan sesuai dengan Qoidnya dan dibatasi pelaksanaan hukumnya pada Qoid yang disebutkan.

Yang menguatkan kesimpulan  ini adalah adanya Nash yang melarang  makan, minum, berpakaian, dan bersedekah disertai kesombongan. Nash yang seperti ini menunjukkan bahwa perhatian, celaan, larangan, dan ancaman  Syara semuanya itu diarahkan pada aspek kesombongannya bukan semata-mata masalah mengulurkan pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
) وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Makan dan minumlah kalian, dan kenakanlah (pakaian) serta bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan kesombongan.” Ibnu Abbas berkata, “Makanlah apa yang engkau mau, kenakanlah apa yang engkau mau, (H.R.Bukhari)
Ibnu Umar juga pernah menolak memakai pakaian yang terbuat dari kapas karena khawatir diselinapi kesombongan.
روى الإمام الذهبي بإسناده إلى هلال بن خباب عن قزعة قال : رأيت على ابن عمر ثيابا خشِنة أو جَشبة ، فقلت له : إني قد أتيتك بثوب لَـيِّن مما يُصْنَع بخراسان وتَقَرّ عيناي أن أراه عليك . قال : أرنيه ، فلمسه ، وقال : أحرير هذا ؟ قلت : لا ، إنه من قطن . قال : إني أخاف أن ألبسه ، أخاف أكون مختالا فخورا ، ( وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ) .
Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya hingga Hilal bin Khabab dari Qoza’ah yang berkata, “Aku melihat ibnu Umar mengenakan pakaian-pakaian yang kasar. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku datang kepadamu dengan membawa pakaian yang halus, yang diproduksi di Khurasan. Dan kurasa aku akan merasa senang jika melihatmu mengenakannya.’ Ia berkata, ‘Perlihatkan kepadaku.’ Lalu ia menyentuhnya dan bertanya, ‘Suterakah ini?’ Kujawab, ‘Bukan, ini dari kapas.’ Ibnu Umar berkata, ‘Sungguh aku takut untuk memakainya, aku takut menjadi orang yang angkuh dan menyombongkan diri.’” (Siyar A’lam Nubala’)
Riwayat ini juga menunjukkan bahwa perhatian shahabat dalam masalah berpakaian diantaranya yang terpenting adalah penggunaannya yang membuat hati terselipi rasa sombong.

Kedua; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakukan Isbal
Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pernah berisbaldan menyeret pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Ketika kami berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba terjadi gerhana Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid. Lalu orang-orang pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: “Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut, maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian (nampak kembali).” (H.R.Bukhari)

Dalam riwayat Ibnu majah juga terdapat kisahIsbalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ibnu Majah meriwayatkan;
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مِنْ الْعَصْرِ ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ فَقَامَ الْخِرْبَاقُ رَجُلٌ بَسِيطُ الْيَدَيْنِ فَنَادَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ فَخَرَجَ مُغْضَبًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ فَصَلَّى تِلْكَ الرَّكْعَةَ الَّتِي كَانَ تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
Dari Imran Ibnul Hushain ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salam pada raka’at ketiga dalam shalat ashar, lalu beliau berdiri dan masuk kamar. Maka berdirilah Al Khirbaq, seorang laki-laki yang tangannya lebar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalatnya diringkas?” beliau pun keluar dan marah sambil menyeret kain sarungnya, beliau bertanya tentang hal itu hingga beliau diberitahu tentang hal itu. Kemudian beliau melaksanakan raka’at yang tertinggal lalu salam, kemudian beliau sujud dua kali dan salam kembali. “(H.R.Ibnu Majah)

Mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isbal -meski hanya sekali- jika Isbalhukumnya haram secara mutlak. Seandainya Isbalmemang haram secara mutlak sebagaimana haramnya berzina atau mencuri, maka satu kalipun  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan pernah melakukannya karena seluruh Nabi Ma’shum (terjaga dari dosa). Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menunjukkan bahwa larangan Isbal itu tidak mutlak, tetapi Muqoyyad (diikat kondisi tertentu) yaitu kesombongan. ArtinyaIsbal hukumnya haram jika dilakukan karena sombong, tetapi tidak haram jika dilakukan tidak karena sombong sebagaimana Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Seandainyapun ada yang memahami bahwa IsbalRasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah dalam kondisi khusus yaitu dalam kondisi Faza’ (takut) seperti Isbal beliau saat terjadi gerhana matahari, atau dalam kondisi Ghodhob (marah) seperti Isbalbeliau saat peristiwa shalat kurang rakaatnya, maka kesimpulan itu justru semakin menguatkan bahwaIsbal tanpa sombong tidak haram. Karena takut dan marah bermakna selain kesombongan. Ketika Nabi melakukan Isbal bukan karena sombong misalnya saat takut dan saat marah, maka Isbal demikian hukumnya Mubah dan tidak tercakup dalam laranganIsbal karena sombong.


Ketiga; Taqrir (sikap diam) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap Isbal Abubakar.
Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendiamkan Abubakar melakukan Isbal. Bukhari meriwayatakan;

)عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ


"Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-hansi-font-family: Calibri; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Dari Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang menyeret pakaiannya karena kesombongan maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari qiyamat”. Kemudian Abu Bakr berkata; “Sesungguhnya sebelah dari
pakaianku terjulur kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya) “. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong”.(HR. Bukhari no. 3665, diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i dan Imam Ahmad)

Riwayat lain berbunyi;
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dari Salim bin Abdullah dari Ayahnya radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Siapa yang menyeret pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak.” Lalu Abu Bakar berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?” lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” (H.R.Bukhari)

Dalam riwayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencela dan mengancam orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Ancamannya adalah tidak dilihat Allah pada hari kiamat, artinya tidak dikasihi dan dirahmati tetapi dibenci dengan kebencian yang amat sangat. Ancaman yang menakutkan ini membuat Abubakar menjadi khawatir jika larangan Isbal tersebut adalah larangan yang mutlak. Maka beliau menanyakan kondisi pakaiannya yag selalu terjulur/Isbal kecuali Abubakar benar-benar menjaganya. Kekhawatiran ini tentu beralasan, karena jika memang benar Isbal itu haram secara mutlak tentu kondisi apapun tidak akan ditoleransi.  Jika memang Isbal memang haram secara mutlak, maka sengaja maupun tidak sengaja tetap haram sehingga harus dijauhi dan tidak boleh didekati. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan bahwa Abubakar melakukanIsbal itu tidak karena sombong. Dan dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Abubakar itu ketika melakukan Isbal, beliau tidak termasuk golongan yang melakukannya kerena sombong. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan dua hal; pertama; Taqrir Nabi terhadap Isbal Abubakar, kedua; Isbal itu hanya dilarang karena sombong.

Riwayat yang kedua malah menunjukkan bahwa yang melakukan Isbal Mubah itu bukan hanya Abubakar tetapi juga kaum Muslimin yang lain. Lafadz yang berbunyi;
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”

Menunjukkan bahwa di zaman Nabi pelaku Isbal itu ada dua golongan yaitu; golongan yang melakukannya karena sombong dan golongan yang tidak melakukannya karena sombong. Hal itu dikarenakan Harf  “Min” pada lafadz مِمَّنْ adalah Min Lit Tab’idh (Harf Min  yang bermakna sebagian). Ketika Abubakar dikatakan bahwa beliau tidak termasuk diantara yang melakukannya karena sombong, berarti yang melakukannya tidak karena sombong bukan hanya Abubakar. Jika yang melakukannya hanya Abubakar maka tidak ada maknanya menyebut Harf Min tersebut. Penyebutan Harf Min Lit -Tab’idh menunjukkan bahwa pelakuIsbal yang tidak karena sombong bukan hanya Abubakar saja tetapi juga kaum Muslimin yang lain. Abubakar didiamkan melakukan Isbal karena tidak termasuk golongan yang melakukannya karena sombong. Karena itu riwayat ini memberi penguatan lebih dalam tentang kebolehan Isbal yang tidak dilakukan karena sombong.

Tidak bisa mengatakan bahwa Isbal Abubakar itu dilakukan secara tidak sengaja sehingga Isbal tetap haram secara mutlak. Argumentasi ini tidak bisa diterima berdasarkan empat alasan;

Satu; Seandainya larangan Isbal bersifat mutlak seharusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersikukuh melarang secara mutlak sebagaimana bersikukuhnya beliau melarang jual beli lemak bangkai dalam riwayat berikut ini;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْأَصْنَامَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
Dari Jabir bin Abdullah bahwa saat ia sedang berada di Makkah ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat penaklukan Makkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi, serta berhala.” Kemudian beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak biasa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan menyalakan lampu?” Beliau bersabda: “Tidak boleh, karena ia adalah haram.” Beliau menambahkan: “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, ketika Allah mengharamkan lemak, mereka mencairkannya kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (H.R.Abu Dawud)
Maknanya, jika memang sesuatu itu haram secara mutlak maka tidak ada alasan apapun untuk yang memberikan toleransi untuk dilanggar. Hal ini berbeda jika sesuatu itu dilarang tidak secara mutlak, tetapi dikecualikan hal/kondisi tertentu sebagaimana toleransi memotong “Idzkhir” pada hadis berikut ini;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ افْتَتَحَ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا فَإِنَّ هَذَا بَلَدٌ حَرَّمَ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهَا قَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari pebebasan kota Makkah: “Tidak ada lagi hijrah tetapi yang ada adalah jihad dan niat dan jika kalian diperintahkan berangkat perang maka berangkatlah. Sesungguhnya negeri ini telah Allah Ikrarkan kesucikannya sejak hari penciptaan langit dan bumi. Maka dia akan terus suci dengan pensucian dari Allah itu hingga hari qiyamat sehingga tidak dibolehkan perang didalamnya buat seorangpun sebelum aku dan tidak dihalalkan pula buatku kecuali sesaat dalam suatu hari. Maka dia suci dengan pensucian dari Allah itu hingga hari qiyamat, dan tidak boleh ditebang pepohonannya dan tidak boleh diburu hewan buruannya dan tidak ditemukan satupun barang temuan kecuali harus dikembalikan kepada yang mengenalnya (pemiliknya) dan tidak boleh dipotong rumputnya”. Berkata, Al ‘Abbas radliallahu ‘anhu: “Wahai Rasulullah, kecuali pohon idzkhir yang berguna untuk wewangian tukang besi mereka dan rumah-rumah mereka”. Dia berkata,, maka Beliau bersabda: “Ya, kecuali pohon idzkhir”. (H.R.Bukhari)
Maknanya, persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap Abubakar yang berisbal semakna dengan persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepad Al-‘Abbas bahwa Idzkhir boleh dipotong, yang menunjukkan larangan Isbal bukan larangan mutlak sebagaimana larangan memotong tumbuhan Mekah bukan larangan mutlak.

Dua; Tidak bisa dibuktikan bahwa Abubakar tidak berisbal sepanjang hidupnya. Seandainya IsbalAbubakar adalah sebuah ketidaksengajaan maka seharusnya itu hanya terjadi sekali atau dua kali dalam hidupnya. Sesudah itu seharusnya ada riwayat yang jelas bahwa beliau tidak berisbal dan selalu menaikkan pakaiannya setinggi tengah betis

Tiga: Pembiaran Nabi atas Isbalnya Abubakar bukan disebabkan karena masalah sengaja atau tidak sengaja, tetapi sebabnya diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri dengan terang –seterang sinar matahari–  bahwa sebabnya adalah karena Abubakar tidak melakukannya karena sombong. Seandainya kebolehan Isbal adalah karena masalah tidak sengaja seharusnya Nabi mengatakan; “Engkau melakukannya tanpa sengaja“.  Namun bukan alasan itu yang diucapkan Nabi. Nabi malah menegaskan kebolehan Isbal terhadap Abubakar adalah karena ketiadaan sombong.

Empat; Dalam Thobaqot Ibnu sa’ad dinyatakan bahwa Isbal Abubakar adalah ciri pakaian beliau. Ibnu Sa’d menyatakan;

الطبقات الكبرى (3/ 188) أجنأ لا يستمسك إزاره يسترخي عن حقوته

“Beliau berdahi menonjol (nonong), Izarnya (kain bawahannya) tidak terikat, terjuntai dari pinggangnya (At-Thobaqot-Al-Kubro, juz.3, hlm 1288)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Isbal Abubakar adalah sesatu yang menonjol dan menjadi ciri berpakaian beliau yang berkesan dalam memori  orang yang melihatnya. Jika memang Isbal itu haram mutlak, mustahil Abubakar bermain-main dengan area yang dekat dengan kaharaman. Bukankah bukan suatu hal yang sulit jika Abubakar menaikkan ujung pakaiannya hingga tengah betis sehingga tidak perlu lagi berpayah-payah menjaga agar pakaiannya tidak Isbal?bukankah suatu hal yang tidak sulit memutuskan agar pakaian tdk terjulur dan tidak perlu selalu diawasi dengan cara memotongnya hingga tengah betis?
 keempat :yang menunjukkan Mubahnya atau bolehnya  Isbal (memanjangkan kain) tanpa sombong) adalah Praktek sejumlah shahabat yang dikuatkan sejumlah Tabi’in besar.
Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwaIsbal dilakukan sejumlah shahabat dan Tabiin. Diantaranya isbal Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

مصنف ابن أبي شيبة (8/ 202) عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.

Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)

Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas’ud melakukan Isbal. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.
Shahabat lain yang diriwayatkan melakukan Isbaladalah Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan;

المعجم الكبير للطبراني (9/ 89، بترقيم الشاملة آليا) عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ:رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ أَصْفَرُ.
Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal(bawah mata kaki), dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (H.R.At-Thobaroni)
Riwayat yang lain berbunyi;
سنن النسائي الكبرى (5/ 484)  عن مولى بن عباس : أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه

Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (H.R.An-Nasai)
Di kalangan Tabi’in, yang diriwayatkan melakukanIsbal adalah Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 208) عَنْ عَمْرِو بْنِ مُهَاجِرٍ ، قَالَ : كَانَتْ قُمُصُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَثِيَابُهُ مَا بَيْنَ الْكَعْبِ وَالشِّرَاكِ.

Dari Amr bin Muhajir, ia berkata, “Jubah-jubah Umar bin Abdul Aziz, serta pakaian-pakaiannya menjulur hingga antara mata kaki dan tali sandalnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Tabi’in yang lain adalah Ibrohim An-Nakho’i. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 209) حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ، عَنْ مُغِيرَةَ ، قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيمُ قَمِيصُهُ عَلَى ظَهْرِ الْقَدَمِ.
Dari Mughiroh, ia berkata, “Ibrohim An-Nakho’I, jubahnya menjulur hingga punggung telapak kakinya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Tabi’in yang lain adalah Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani.
أخرج الإمام أحمد في (( العلل )) – رواية ابنه عبد الله – ( رقم : 841 ) قال :حدثنا سليمان بن حرب ، قال : حدَّثنا حماد بن زيد ، قال :”أمرَنِي أيّوب أن أقطعَ له قميصاً قال : اجعلْه يضرِبُ ظَهْرَ القدم ، و اجعَلْ فَمَ كُمِّهِ شبراً “. إسنادهٌ صحيحٌ .

Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-‘Ilal – riwayat putranya, Abdullah – nomor 841 Suliman bin Harb memberitahu aku,  Hammad bin Zaid berkata, “Ayub memerintahkanku untuk memotong sebuah jubah untuknya. Ia berkata, ‘Jadikan jubahku (sepanjang) hingga menyentuh punggung kakiku. Dan jadikan lebar lengannya sejengkal.” (H.R.Ahmad dalam Al-‘Ilal). Sanadnya shohih.

Semua riwayat di atas semakin menguatkan bahwaIsbal yang dilakukan tidak karena sombong adalah Mubah dan dipraktekkan shahabat besar termasuk Tabi’in-Tabi’in yang keshalihannya tidak diragukan lagi.‎
namun kita juga harus menghormati dan menghargai  pebedaan pendapat dari para ulama bahwa isbal atau memanjangkan kain di bawah mata kaki hukumnya makruh
 Dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi berkata:

وَأَنَّهُ لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ

“Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh(dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz. 7, Hal. 168, No hadits. 3887. )



CAR,FOREX,DOMAIN,SEO,HEALTH,HOME DESIGN

 


Instagram Sorot Publik


Info Section Text